Home

Sungguh enak perusahaan-perusahaan yang mencemari lingkungan hidup. Meski sudah terbukti merusak lingkungan, mereka masih terus beroperasi. Kalaupun sempat terjerat hukum, vonis yang mereka terima tergolong ringan atau bebas sama sekali. Kenyataan ini amat memprihatinkan.

Data Kementerian Lingkungan Hidup yang dirilis baru-baru ini menunjukkan sekitar 40 persen kasus pencemaran lingkungan hidup divonis bebas di pengadilan. Kalaupun dihukum, sebagian besar hanya dikenai hukuman percobaan. Jumlah pelaku pencemaran yang dihukum penjara enam bulan hingga dua tahun penjara bisa dihitung dengan jari.

Sejauh ini Kementerian Lingkungan hanya bisa menggolongkan mereka sebagai perusahaan berkategori hitam. Inilah rapor terburuk bagi perusahaan yang tidak memenuhi syarat keamanan lingkungan. Syarat itu, antara lain, pengolahan limbah beracun dan air limbah. Bila syarat ini tidak dipenuhi akan berdampak terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat. Setiap tahun pemerintah bersama Dewan Pertimbangan Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan soal pengelolaan lingkungan hidup mengeluarkan rapor bagi perusahaan.

Menurut dewan tersebut, perusahaan yang masuk kategori hitam harus ditutup. Tapi nyatanya banyak di antara mereka masih saja beroperasi. Perusahaan hitam itu bisa melenggang dengan leluasa antara lain karena kekuatan uang. Mereka sanggup membiayai hasil penelitian tandingan demi memoles citra, memperbaiki rapor, ataupun mementahkan tuduhan.

Perusahaan-perusahaan hitam itu gampang lolos dari jerat hukum lantaran jaksa dan hakim tidak serius menegakkan keadilan. Mereka seolah tak mau tahu bahwa pencemaran lingkungan merupakan ancaman serius bagi masyarakat. Jaksa dan hakim umumnya menggunakan Undang-Undang Kehutanan atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam menangani kasus lingkungan. Kedua undang-undang ini memiliki banyak kelemahan, dan hukumannya kurang keras.

Jika penegak hukum sungguh-sungguh ingin menjerat pencemar lingkungan, seharusnya mereka menggunakan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Ancaman hukuman dalam undang-undang ini lebih berat. Lebih dari itu, di sana ada aturan yang memungkinkan proses hukum secara pidana dan perdata dapat dijalankan sekaligus. Hasil proses perdata pun bisa digunakan untuk memperkuat proses pidana.

Khalayak, khususnya pencinta lingkungan hidup, masih berharap undang-undang itu dilirik oleh para penegak hukum. Jangan biarkan aturan itu hanya menjadi macan kertas. Tapi, bila penegak hukum tetap tak peduli, pemerintah perlu menempuh cara lain. Dulu Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar pernah berencana menghambat penyaluran kredit perbankan bagi 42 perusahaan hitam lantaran tak memiliki hak beroperasi. Sebagai langkah terobosan melawan perusahaan pencemar lingkungan, cara ini mungkin bisa dicoba.

Pemerintah tak boleh berkompromi dengan perusahaan-perusahaan pencemar. Soalnya, mereka jelas membahayakan kehidupan masyarakat.

3 thoughts on “Hukuman Pencemar Lingkungan

  1. salam lestari.
    sya setuju jika UU Lingkungan lebih di tegakkan dan keberpihakan pemerintah tidak hanya pada pengusaha tapi lebih pada rakyat. saat ini Indonesia masih mengutamakan kepentingan modal dengan menegasikan kepentingan rakyat, akibatnya banyak industri-industri yang sebenarnya tidak memenuhi persyarakatan AMdal, namun di loloskan demi atas nama Pro Investasi. Perlu kerjasama semua pihak agar keadilan bisa dinikmati oleh rakyat kecil.

Leave a reply to HERMI Cancel reply